Rabu, 02 April 2014

Resensi Novel: Berteman Dengan Kematian




RESENSI NOVEL BERTEMAN DENGAN KEMATIAN


Judul buku            : Berteman dengan kematian (Catatan gadis Lupus)
Pengarang              : Sinta Ridwan
Penerbit                 : Ombak
Terbit                     : Mei 2010 (Cetakan I)
                                Juli 2012 (Cetakan IV)
Tempat Penerbitan : Yogyakarta
Jumlah Halaman    : xvi + 363 halaman
Ukuran Buku         : 13 x 19 cm
Harga Buku            : Rp 60.000,-

Novel ini menceritakan tentang seseorang gadis penderita penyakit Lupus yang bernama Sinta. Tak pernah ia duga sebelumnya jika lupus mengunjungi tubuhnya! Tak kalah dengan HIV/AIDS, penyakit ini belum ada obatnya. Lupus membuat tubuhnya melemah dari hari ke hari. Dia berjuang memaknai hari-hari menjelang kematiannya. Saat mengetahui dirinya mengidap penyakit Lupus, yang terbayang adalah kematian yang terus tersenyum dan seakan melambaikan tangan di depan. Baginya kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan, tetapi serupa teman akrab yang diajaknya berbincang dan berteman sehari-hari.
Senyum kematian di depan justru membuat setiap detik dan menit menjadi sangat berharga. Membuatnya terpukau pada indahnya keabadian dalam hidup disini dan saat ini. Sinta yang berasal dari keluarga broken home dan membiayai hidup dan kuliahnya sendiri selepas SMU mampu memberikan makna lebih pada hidupnya.  Dia selalu memberikan senyum dan semangat pada orang-orang disekitarnya, terutama kepada penderita penyakit seperti dirinya: “bahwa hidup harus disyukuri, bahwa hidup harus dihidupi”. Sebab pada akhirnya, menghidupi hidup adalah obat sesungguhnya dari setiap mahluk di dunia.

Hingga pada usianya yang ke-25 tahun dia masih dapat berkarya dan memberikan senyuman indahnya pada setiap orang di sekitarnya. " Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi", satu kata yang patut ditiru dari gadis 25 tahun ini, "semangat". Ya, diantara hari-harinya yang dibayangi penyakit lupus, Sinta Ridwan tak pernah patah semangat untuk membuat banyak karya. Menulis puisi, dan novel menjadi salah satu bagian hidupnya. Kajian naskah kuno pun jadi pilihannya untuk dieksplorasi.

Suatu hari, dalam perjalanan dari Bali menuju Bandung, usai mengikuti sebuah kegiatan kampus, Sinta sedang bergelut dengan lupus. Teman-temannya memperhatikan Sinta dengan penuh iba. Sinta pun mengaku, sebagaimana ia tulis dalam bukunya di halaman 201-202. "Kulihat beberapa teman-temanku masih berdiri di sampingku, memperhatikanku. Bahkan ada yang menggosipkan aku terkena penyakit yang parah semacam kanker dan kambuh gara-gara bertengkar dengan teman sekamarku kemarin. Hahaha, ada-ada saja. Aku tidak mau mendengarkan mereka berbisik-bisik tidak jelas. Bahkan aku melihat ada teman dekatku yang menangis. Tak usah menangis, tenanglah, bisikku. Aku tidak akan meninggal kok, terima kasih ya teman. Aku pun terlelap dalam bus sepanjang perjalanan ke Bandung, tertidur sambil tersenyum kesakitan."

Sinta, meskipun menderita sakit, justru menasihati teman-temannya yang sehat agar tidak menangis. Sinta, meskipun bergelut dengan lupus dan merasa kesakitan, justru bisa tersenyum.

Pelajaran menarik lain dari seorang Sinta, yakni ketika Sinta mengikuti seminar tentang penyakit lupus. Dokter mengatakan, bahwa para penderita penyakit lupus, tidak bisa lepas dari obat-obatan kimiawi. Tapi Sinta menolak anjuran itu. Sinta kemudian menggambar sketsa tubuh manusia yang diberi nama AKU. Tangan manusia itu menggenggam tali-tali yang mengikat banyak balon yang sedang mengudara. Di setiap balon, Sinta memberi warna yang berbeda disertai tulisan.

Yang menarik, di balon berwarna merah, Sinta menulis "hidup tanpa obat kimia". Di balon berwarna ungu, Sinta menulis, "harus bahagia tiap hari". Di balon warna hitam, Sinta menulis dengan kalimat, "semoga bahagia lahir batin ya Ta." Dan di balon warna putih, ia menulis "Hidup harus hidup" (halaman 256-257). Apa yang ditulis Sinta memiliki makna sama dengan doa. Paling tidak itulah harapan Sinta yang dipanjatkan kepada Sang Pencipta.

Dan benar kata Bung Chairil Anwar, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Demikian Sinta Ridwan menulis di halaman terakhir bukunya, Berteman dengan Kematian Catatan Gadis Lupus (Ombak2010). Sebuah penutup yang terasa berbeda dengan judul buku tersebut. Namun, tampaknya gadis cantik kelahiran Cirebon, 11 Januari 1985 ini, merasa perlu menutup bukunya dengan cara seperti itu untuk melukiskan semangat hidupnya. Meski tahu, sebagai orang pengidap lupus (odapus), ia setiap hari harus berteman dengan ancaman kematian melalui penyakit yang terus mengancam berbagai organ tubuhnya.

Buku ini diluncurkan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung, Minggu 9 Mei 2010, bertepatan dengan peringatan Hari Lupus Sedunia. Lewat buku yang ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dengan gaya catatan harian, Sinta tak hanya menuturkan ihwal penyakit lupus dan bagaimana mulanya ia divonis menjadi seorang odapus. Akan tetapi, nyaris mengisahkan seluruh dirinya, dari masa kecil, perceraian kedua orang tuanya, kematian orang-orang yang disayanginya, perjuangannya bekerja keras di Bandung, gaya hidup, hingga perubahan besar pada dirinya dalam memandang hidup ketika lupus bersarang dalam tubuhnya.

Dan satu hal yang amat terasa dalam buku ini adalah semangat hidup. Semangat seorang gadis yang sejak remaja ditempa oleh berbagai pengalaman pahit. Tak cukup hanya penderitaan psikologis akibat keluarganya yang berantakan, penderitaan fisik akibat lupus pun harus diterimanya. Dan itu terjadi ketika ia sedang tumbuh sebagai seorang mahasiswi yang penuh dengan cita-cita. Namun, lupus tidaklah menyurutkan semangat hidup dan cita-citanya. Meski penyakit yang belum ada obatnya ini telah menyerang tubuhnya, setamat menyelesaikan pendidikan di sebuah sekolah tinggi bahasa, sambil bekerja, Sinta meneruskan pendidikannya ke Pascasarjana Jurusan Filologi di UNPAD. Kini, sambil menyelesaikan tesisnya, ia masih terus menulis puisi. "Secangkir Bintang" merupakan kumpulan puisinya yang pertama.

Semangat ini pula yang terasa dalam gaya penulisan bukunya. Seluruh penderitaan sampai yang paling mendebarkan sekalipun, ditulis dengan gaya khas anak muda. Polos, santai, penuh celetukan konyol, dan jauh dari tujuan mendramatisasi nasib demi mendapat empati, apalagi untuk minta dikasihani. Justru dengan cara seperti inilah kesedihan itu amat terasa. Kebersahajaan dan kepolosan seorang gadis menuturkan penyakit yang mengancam jiwanya, tanpa sedikit pun mengeluh.

Bersahaja dan polos, begitulah Sinta Ridwan dalam kesehariannya. Berpakaian santai, selalu berbicara diiringi senyum, kadang terkesan manja dan agak cerewet. Namun, sesekali ia bisa bicara penuh semangat, terutama tentang nasib naskah-naskah kuno yang tak terawat dan banyakdi perjualbelikan ke negara asing. Atau tentang aksara Sunda, perjalanannya meneliti naskah kuno ke berbagai kota di Kalimantan, cita-citanya meneruskan studi ke Leiden Belanda, atau mendirikan perpustakaan naskah-naskah Nusantara. Termasuk ceritanya tentang Naskah Wangsakerta.

"Saya ingin menulis novel tentang Wangsakerta," ujar gadis manis ini bersemangat. Wangsakerta merupakan seorang pangeran Cirebon yang merupakan tokoh penting dalam proses penulisan sejarah Nusantara tahun 1698. Memang aneh, di tengah kegandrungan anak-anak muda memilih studi bidang keilmuan yang mudah mendapatkan lapangan kerja, gadis yang pernah menjadi pemain softball dan vokalis group band di Cirebon ini, memilih bidang studi filologi yang selalu mengurusi naskah kuno. Alasan ia memilih kajian sastra kuno atau filologi tak bisa dilepaskan dari kesukaannya pada sastra. Di bidang yang satu ini, gadis yang sebelumnya perokok dan suka begadang ini telah menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul "Secangkir Bintang".

Dengan mengesplorasinaskah naskah kuno, gadis ini juga berharap bahwa suatu hari ia bisa menjadi pengajar atau peneliti yang bisa berkeliling dunia. Karena itulah, puisi dan nasib naskah-naskah kuno, merupakan topik obrolan yang paling disukainya. Bahkan, jika ia sedang bercerita tentang naskah-naskah kuno tampak bahwa pembicaraan itu lebih menarik baginya ketimbang membicarakan penyakit lupus yang ada dalam tubuhnya. Sinta menuturkan bahwa ia kerap merasa kurang nyaman berada di tengah berbagai kegiatan perkumpulan pengidap penyakit yang dilembagakan.

Namun ia merasa terpanggil jika ada orang yang mengajaknya membicarakan kasus penyakit lupus.Tapi ia harus mempersiapkan mental agar ia tidak terpancing ke dalam suasana yang menyedihkan, sehingga membuat ia sendiri jadi gelisah dan cemas. Sinta harus menerima semuanya dengan lapang dada. Dulu ketika ia divonis mengidap lupus, ia sangat marah dan kecewa sekali.

Tapi sekarang ia jadikan teman," katanya. Sejak ia divonis mengidap lupus tahun 2006, Sinta giat mencari tahu tentang penyakit tersebut. Dari mulai pengalamannya sendiri, konsultasi dengan para dokter yang merawatnya, hingga mencari berbagai buku dan referensi di internet. Karena penyakit mengerikan ini dalam dunia medis belum ada obatnya, maka bagi Sinta obat itu harus ada dalam diri seorang odapus. Dan itu adalah semangat hidup dan merasa berbahagia. "Saya ingin sekali merasakan obat itu, karena saya ingin sembuh. Dan obat itu adalah kebahagiaan," ujarnya dengan semangat.

Akan tetapi bagaimanakah memunculkan bahagia sedangkan lupus terus menyerang organ tubuh dengan ancaman kematian? Tentu saja tak mudah, terlebih lagi kebahagian itu sangat relatif. Demikian pula bagi Sinta. Namun baginya, sebagai odapus kebahagian itu adalah dengan memaknai hidup dan menghargainya.

Tentu manusiawi sekali jika ia pun merasa takut pada kematian. Akan tetapi, Sinta memandang ketakutan pada kematian itu sebagai teman. Dan itulah yang membuatnya bisa memandang ke arah sebaliknya, ke arah bagaimana menghargai dan memaknai hidup dengan sebuah semangat. "Saya masih ingin hidup. Hidup harus hidup. Tapi jika memang kematian itu akhirnya datang, yang saya takutkan hanyalah saya mati sendirian tanpa ada siapa pun," ujar gadis yang hingga sekarang keluarganya belum tahu bahwa ia mengidap lupus.

Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari buku ini. Itu lantaran Sinta menulis dengan jujur, penuh perasaan dan tentu saja dengan semangat hidup yang tinggi. Pelajaran yang paling berharga disodorkannya yaitu bahwa manusia, siapapun dia tidak akan luput dari kematian. Hal itu memang sudah diingatkan oleh kitab suci, bahwa Sang Maut selalu mengikuti serta mengintai semua makhluk setiap saat. Dan Sinta mengingatkan, atau menegaskan kembali, bahwa hal itu benar-benar terjadi sehingga perlu diisi dengan perbuatan yang bermakna. Dengan itu, kita harus sadar bahwa tidak  ada yang kekal di dunia. Dan disisa  hidup kita buatlah menjadi bermanfaat dan lebih berarti bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain, terutama disekitar kita. Buatlah mereka bahagia dan tersenyum, yakinlah kebahagiaan yang mereka rasakan itulah kebahagiaan kita .