RESENSI NOVEL BERTEMAN DENGAN
KEMATIAN
Judul
buku :
Berteman dengan kematian (Catatan gadis Lupus)
Pengarang :
Sinta Ridwan
Penerbit :
Ombak
Terbit :
Mei 2010 (Cetakan I)
Juli
2012 (Cetakan IV)
Tempat Penerbitan : Yogyakarta
Jumlah Halaman : xvi + 363
halaman
Ukuran
Buku : 13 x 19 cm
Harga
Buku :
Rp 60.000,-
Novel
ini menceritakan tentang seseorang gadis penderita penyakit Lupus yang bernama
Sinta. Tak pernah ia duga sebelumnya jika lupus mengunjungi tubuhnya! Tak
kalah dengan HIV/AIDS, penyakit ini belum ada obatnya. Lupus membuat tubuhnya
melemah dari hari ke hari. Dia berjuang memaknai hari-hari menjelang kematiannya.
Saat mengetahui dirinya mengidap penyakit Lupus, yang terbayang adalah
kematian yang terus tersenyum dan seakan melambaikan tangan di
depan. Baginya kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan, tetapi serupa
teman akrab yang diajaknya berbincang dan berteman sehari-hari.
Senyum kematian di
depan justru membuat setiap detik dan menit menjadi sangat berharga. Membuatnya
terpukau pada indahnya keabadian dalam hidup disini dan saat ini. Sinta yang
berasal dari keluarga broken home dan membiayai hidup dan kuliahnya sendiri
selepas SMU mampu memberikan makna lebih pada hidupnya. Dia selalu
memberikan senyum dan semangat pada orang-orang disekitarnya, terutama kepada
penderita penyakit seperti dirinya: “bahwa hidup harus disyukuri, bahwa hidup
harus dihidupi”. Sebab pada akhirnya, menghidupi hidup adalah obat sesungguhnya
dari setiap mahluk di dunia.
Hingga
pada usianya yang ke-25 tahun dia masih dapat berkarya dan memberikan senyuman
indahnya pada setiap orang di sekitarnya. " Aku Mau Hidup Seribu Tahun
Lagi", satu kata yang patut ditiru dari gadis 25 tahun ini,
"semangat". Ya, diantara hari-harinya yang dibayangi penyakit lupus,
Sinta Ridwan tak pernah patah semangat untuk membuat banyak karya. Menulis
puisi, dan novel menjadi salah satu bagian hidupnya. Kajian naskah kuno pun
jadi pilihannya untuk dieksplorasi.
Suatu
hari, dalam perjalanan dari Bali menuju Bandung, usai mengikuti sebuah kegiatan
kampus, Sinta sedang bergelut dengan lupus. Teman-temannya memperhatikan Sinta
dengan penuh iba. Sinta pun mengaku, sebagaimana ia tulis dalam bukunya di
halaman 201-202. "Kulihat beberapa teman-temanku masih berdiri di
sampingku, memperhatikanku. Bahkan ada yang menggosipkan aku terkena penyakit
yang parah semacam kanker dan kambuh gara-gara bertengkar dengan teman sekamarku
kemarin. Hahaha, ada-ada saja. Aku tidak mau mendengarkan mereka berbisik-bisik
tidak jelas. Bahkan aku melihat ada teman dekatku yang menangis. Tak usah
menangis, tenanglah, bisikku. Aku tidak akan meninggal kok, terima kasih ya
teman. Aku pun terlelap dalam bus sepanjang perjalanan ke Bandung, tertidur
sambil tersenyum kesakitan."
Sinta,
meskipun menderita sakit, justru menasihati teman-temannya yang sehat agar
tidak menangis. Sinta, meskipun bergelut dengan lupus dan merasa kesakitan,
justru bisa tersenyum.
Pelajaran
menarik lain dari seorang Sinta, yakni ketika Sinta mengikuti seminar tentang
penyakit lupus. Dokter mengatakan, bahwa para penderita penyakit lupus, tidak
bisa lepas dari obat-obatan kimiawi. Tapi Sinta menolak anjuran itu. Sinta
kemudian menggambar sketsa tubuh manusia yang diberi nama AKU. Tangan manusia
itu menggenggam tali-tali yang mengikat banyak balon yang sedang mengudara. Di
setiap balon, Sinta memberi warna yang berbeda disertai tulisan.
Yang
menarik, di balon berwarna merah, Sinta menulis "hidup tanpa obat
kimia". Di balon berwarna ungu, Sinta menulis, "harus bahagia tiap
hari". Di balon warna hitam, Sinta menulis dengan kalimat, "semoga
bahagia lahir batin ya Ta." Dan di balon warna putih, ia menulis
"Hidup harus hidup" (halaman 256-257). Apa yang ditulis Sinta
memiliki makna sama dengan doa. Paling tidak itulah harapan Sinta yang
dipanjatkan kepada Sang Pencipta.
Dan
benar kata Bung Chairil Anwar, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Demikian
Sinta Ridwan menulis di halaman terakhir bukunya, Berteman dengan Kematian
Catatan Gadis Lupus (Ombak2010). Sebuah penutup yang terasa berbeda dengan
judul buku tersebut. Namun, tampaknya gadis cantik kelahiran Cirebon, 11
Januari 1985 ini, merasa perlu menutup bukunya dengan cara seperti itu untuk
melukiskan semangat hidupnya. Meski tahu, sebagai orang pengidap lupus
(odapus), ia setiap hari harus berteman dengan ancaman kematian melalui
penyakit yang terus mengancam berbagai organ tubuhnya.
Buku
ini diluncurkan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung, Minggu 9 Mei 2010,
bertepatan dengan peringatan Hari Lupus Sedunia. Lewat buku yang ditulis dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan dengan gaya catatan harian, Sinta tak hanya
menuturkan ihwal penyakit lupus dan bagaimana mulanya ia divonis menjadi
seorang odapus. Akan tetapi, nyaris mengisahkan seluruh dirinya, dari masa
kecil, perceraian kedua orang tuanya, kematian orang-orang yang disayanginya,
perjuangannya bekerja keras di Bandung, gaya hidup, hingga perubahan besar pada
dirinya dalam memandang hidup ketika lupus bersarang dalam tubuhnya.
Dan
satu hal yang amat terasa dalam buku ini adalah semangat hidup. Semangat
seorang gadis yang sejak remaja ditempa oleh berbagai pengalaman pahit. Tak
cukup hanya penderitaan psikologis akibat keluarganya yang berantakan,
penderitaan fisik akibat lupus pun harus diterimanya. Dan itu terjadi ketika ia
sedang tumbuh sebagai seorang mahasiswi yang penuh dengan cita-cita. Namun,
lupus tidaklah menyurutkan semangat hidup dan cita-citanya. Meski penyakit yang
belum ada obatnya ini telah menyerang tubuhnya, setamat menyelesaikan
pendidikan di sebuah sekolah tinggi bahasa, sambil bekerja, Sinta meneruskan
pendidikannya ke Pascasarjana Jurusan Filologi di UNPAD. Kini, sambil
menyelesaikan tesisnya, ia masih terus menulis puisi. "Secangkir
Bintang" merupakan kumpulan puisinya yang pertama.
Semangat
ini pula yang terasa dalam gaya penulisan bukunya. Seluruh penderitaan sampai
yang paling mendebarkan sekalipun, ditulis dengan gaya khas anak muda. Polos,
santai, penuh celetukan konyol, dan jauh dari tujuan mendramatisasi nasib demi
mendapat empati, apalagi untuk minta dikasihani. Justru dengan cara seperti
inilah kesedihan itu amat terasa. Kebersahajaan dan kepolosan seorang gadis
menuturkan penyakit yang mengancam jiwanya, tanpa sedikit pun mengeluh.
Bersahaja
dan polos, begitulah Sinta Ridwan dalam kesehariannya. Berpakaian santai,
selalu berbicara diiringi senyum, kadang terkesan manja dan agak cerewet.
Namun, sesekali ia bisa bicara penuh semangat, terutama tentang nasib
naskah-naskah kuno yang tak terawat dan banyakdi perjualbelikan ke negara
asing. Atau tentang aksara Sunda, perjalanannya meneliti naskah kuno ke
berbagai kota di Kalimantan, cita-citanya meneruskan studi ke Leiden Belanda,
atau mendirikan perpustakaan naskah-naskah Nusantara. Termasuk ceritanya
tentang Naskah Wangsakerta.
"Saya
ingin menulis novel tentang Wangsakerta," ujar gadis manis ini
bersemangat. Wangsakerta merupakan seorang pangeran Cirebon yang merupakan
tokoh penting dalam proses penulisan sejarah Nusantara tahun 1698. Memang aneh,
di tengah kegandrungan anak-anak muda memilih studi bidang keilmuan yang mudah
mendapatkan lapangan kerja, gadis yang pernah menjadi pemain softball dan
vokalis group band di Cirebon ini, memilih bidang studi filologi yang selalu
mengurusi naskah kuno. Alasan ia memilih kajian sastra kuno atau filologi tak
bisa dilepaskan dari kesukaannya pada sastra. Di bidang yang satu ini, gadis
yang sebelumnya perokok dan suka begadang ini telah menerbitkan kumpulan
puisinya yang berjudul "Secangkir Bintang".
Dengan
mengesplorasinaskah naskah kuno, gadis ini juga berharap bahwa suatu hari ia
bisa menjadi pengajar atau peneliti yang bisa berkeliling dunia. Karena itulah,
puisi dan nasib naskah-naskah kuno, merupakan topik obrolan yang paling
disukainya. Bahkan, jika ia sedang bercerita tentang naskah-naskah kuno tampak
bahwa pembicaraan itu lebih menarik baginya ketimbang membicarakan penyakit
lupus yang ada dalam tubuhnya. Sinta menuturkan bahwa ia kerap merasa kurang
nyaman berada di tengah berbagai kegiatan perkumpulan pengidap penyakit yang
dilembagakan.
Namun
ia merasa terpanggil jika ada orang yang mengajaknya membicarakan kasus
penyakit lupus.Tapi ia harus mempersiapkan mental agar ia tidak terpancing ke
dalam suasana yang menyedihkan, sehingga membuat ia sendiri jadi gelisah dan
cemas. Sinta harus menerima semuanya dengan lapang dada. Dulu ketika ia divonis
mengidap lupus, ia sangat marah dan kecewa sekali.
Tapi
sekarang ia jadikan teman," katanya. Sejak ia divonis mengidap lupus tahun
2006, Sinta giat mencari tahu tentang penyakit tersebut. Dari mulai
pengalamannya sendiri, konsultasi dengan para dokter yang merawatnya, hingga
mencari berbagai buku dan referensi di internet. Karena penyakit mengerikan ini
dalam dunia medis belum ada obatnya, maka bagi Sinta obat itu harus ada dalam
diri seorang odapus. Dan itu adalah semangat hidup dan merasa berbahagia.
"Saya ingin sekali merasakan obat itu, karena saya ingin sembuh. Dan obat
itu adalah kebahagiaan," ujarnya dengan semangat.
Akan
tetapi bagaimanakah memunculkan bahagia sedangkan lupus terus menyerang organ
tubuh dengan ancaman kematian? Tentu saja tak mudah, terlebih lagi kebahagian
itu sangat relatif. Demikian pula bagi Sinta. Namun baginya, sebagai odapus
kebahagian itu adalah dengan memaknai hidup dan menghargainya.
Tentu
manusiawi sekali jika ia pun merasa takut pada kematian. Akan tetapi, Sinta
memandang ketakutan pada kematian itu sebagai teman. Dan itulah yang membuatnya
bisa memandang ke arah sebaliknya, ke arah bagaimana menghargai dan memaknai
hidup dengan sebuah semangat. "Saya masih ingin hidup. Hidup harus hidup.
Tapi jika memang kematian itu akhirnya datang, yang saya takutkan hanyalah saya
mati sendirian tanpa ada siapa pun," ujar gadis yang hingga sekarang keluarganya
belum tahu bahwa ia mengidap lupus.
Banyak
pelajaran yang bisa dipetik dari buku ini. Itu lantaran Sinta menulis dengan
jujur, penuh perasaan dan tentu saja dengan semangat hidup yang tinggi.
Pelajaran yang paling berharga disodorkannya yaitu bahwa manusia, siapapun dia
tidak akan luput dari kematian. Hal itu memang sudah diingatkan oleh kitab
suci, bahwa Sang Maut selalu mengikuti serta mengintai semua makhluk setiap
saat. Dan Sinta mengingatkan, atau menegaskan kembali, bahwa hal itu
benar-benar terjadi sehingga perlu diisi dengan perbuatan yang bermakna. Dengan
itu, kita harus sadar bahwa tidak ada yang kekal di dunia. Dan
disisa hidup kita buatlah menjadi bermanfaat dan lebih berarti bukan
hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain, terutama disekitar
kita. Buatlah mereka bahagia dan tersenyum, yakinlah kebahagiaan yang mereka
rasakan itulah kebahagiaan kita .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar